Candi Laras |
Kerajaan Negara Dipa
adalah kerajaan bercorak Hindu yang pernah eksis di kawasan yang
sekarang termasuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Kalimantan
Selatan. Kerajaan Negara Dipa merupakan kelanjutan dari Kerajaan Nan
Sarunai yang runtuh akibat serangan dari Kerajaan Majapahit. Dan
merupakan salah satu titik penting dalam sejarah perjalanan berdirinya
Kesultanan Banjar.
Sejarah
Kemunculan
Kerajaan Negara Dipa sangat berkaitan dengan keruntuhan Kerajaan Nan
Sarunai. Pada tahun 1355 Masehi, Raja Hayam Wuruk, penguasa Majapahit,
memerintahkan seorang panglimanya yang bernama Empu Jatmika untuk
memimpin armada perang dengan misi menaklukkan Kerajaa Nan Sarunai dan
menjadikannya sebagai bagian dari Kerajaan Majapahit. Peristiwa tentang
penyerbuan angkatan perang Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Nan Sarunai
ini dikisahkan dalam Hikayat Banjar dan diabadikan oleh para seniman
lokal melalui tutur wadian (puisi ratapan) yang dilisankan dalam bahasa
Maanyan. Mereka mengenang keruntuhan Kerajaan Nan Sarunai dengan
menyebutnya sebagai peristiwa "Usak Jawa" atau Penyerangan oleh Kerajaan
Jawa".
Candi Agung |
Setelah berhasil
mengalahkan peradaban orang-orang Suku Dayak Maanyan, Empu Jatmika
kemudian membangun kerajaan baru di Pulau Hujung Tanah yang merupakan
bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan baru ini diberi
nama Kerajaan Negara Dipa. Nama "Dipa" diambil dari bahsa Dayak Maanyan,
yakni "dipah ten" yang berarti "Kerajaan yang terletak di seberang".
Pemberian nama dengan makna "Kerajaan yang terletak di seberang" sangat
mungkin mengacu pada letak Kerajaan Negara Dipa yang berada di seberang
lautan jika ditempuh dari Kerajaan Majapahit yang berlokasi di Jawa.
Setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai, Empu Jatmika memang
memposisikan Kerajaan Negara Dipa yang dirintisnya sebagai wilayah
taklukan yang mengabdi di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Menurut Hikayat
Banjar, Empu Jatmika (Ampu Jatmaka) berasal dari Negeri Keling. Keling
identik dengan Kediri, tepatnya Kediri bagian utara. Dalam Hikayat
Banjar dikisahkan bahwa Empu Jatmika adalah putra dari seorang saudagar
besar bernama Aria Mangkubumi yang beristrikan Siti Rara. Setelah Empu
Jatmika beranjak dewasa, ia menikah dengan seorang perempuan bernama
Sari Manguntur. Perkawinan ini dikaruniai dua orang anak laki-laki yang
diberi nama Lambung Mangkurta dan Mandastana.
Saat kedua anak
Empu Jatmika menginjak usia remaja, Aria Mangkubumi jatuh sakit. Ketika
kondisi kesehatan Aria Mangkubumi semakin kritis, ia memanggil anak dan
kedua cucunya dan berpesan supaya mereka menjaga keutuhan seluruh
anggota keluarga dengan sebaik-baiknya dan tidak bersifat kikir serta
berlaku adil kepada semua orang dengan mendengar keluhan atau permohonan
dari setiap orang yang datang.
Selain itu, Aria
Mangkubumi juga berwasiat agar Empu Jatmika pergi merantau ke luar dari
negeri Keling karena di negeri ini banyak orang yang bertabiat tidak
baik, seperti perasaan iri hati serta rasa dengki. Aria Mangkubumi
berpesan, Empu Jatmika harus mencari negeri yang bertanah panas dan
berbau harum. Untuk dapat mengetahui tanah yang dimaksud itu, Empu
Jatmika dihimbau supaya menggali sekepal tanah yang didatanginya pada
tengah malam dan dicium untuk merasakan aroma tanah itu. Apabila tempat
yang memenuhi syarat-syarat itu telah berhasil ditemukan, Aria
Mangkubumi menyarankan agar Empu Jatmika menetap di sana karena
kehidupan di tempat itu akan dikaruniai rahmat dan kebahagiaan yang
melimpah. Kesuburan dan kesejahteraan akan senantiasa diperoleh di tanah
yang berbau harum itu sehingga segala jenis tanaman dapat tumbuh dengan
subur. Selain itu, negeri tersebut akan didatangi banyak saudagar dari
berbagai negeri sehingga membuantnya menjadi negeri yang besar dan
makmur, serta akan terhindar dari serangan musuh. Namun, jika tanah yang
ditemukan berbau harum namun terasa dingin, maka kebahagiaan dan
kemakmuran hanya akan diperoleh sekedarnya saja. Negeri itu akan selalu
terancam marabahaya dan akan menderita kesukaran yang tidak
putus-putusnya. Tidak lama setelah menyampaikan pesan-pesan terakhir
kepada anak dan cucunya, Aria Mangkubumi meninggal dunia. Empu Jatmika
bertekad akan melaksanakan pesan-pesan ayahnya, yaitu mencari dan
menemukan sebuah tempat yang tananhnya panas dan berbau harum.
Belum bisa
dijelaskan apa hubungan antara Empu Jatmika dengan Kerajaan Majapahit.
Karena pada saat Empu Jatmika memimpin penyerangan ke Kerajaan Nan
Sarunai, ia adalah panglima yang diutus dari Kerajaan Majapahit.
Kemungkinan besar, Empu Jatmika beserta keluarga mengabdi terlebih
dahulu di Kerajaan Majapahit sebelum di tugaskan memimpin pasukan menuju
Kerajaan Nan Sarunai. Mengingat saat itu Kerajaan Majapahit adalah
sebuah imperium besar, dan Negeri Keling (Kediri) adalah Kerajaan
taklukan dan tunduk pada kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Pada tahun 1355
Masehi, Raja Majapahit memerintahkan Empu Jatmika untuk memimpin armada
perang menuju Kerajaan Nan Sarunai. Kemungkinan besar Raja Majapahit itu
adalah Raja Hayam Wuruk karena berkuasa sejak tahun 1350 M sampai 1389
M.
Lambung Mangkurat |
Empu Jatmika tiba
di Pulau Hujung Tanah, tempat dimana Kerajaan Nan Sarunai berdiri.
Turut dalam rombongan Empu Jatmika yang menuju Kerajaan Nan Sarunai
antara lain adalah Sira Manguntur (istri Empu Jatmika), Empu Mandastana
dan Lambung Mangkurat (anak Empu Jatmika), seorang nakhoda kapal
sekaligus ahli bahasa bernama Wiramarta, dua orang hulubalang yaitu Aria
Megatsari dan Tumenggung Tatahjiwa, beserta pasukannya. Ketika digali,
ternyata tanah di Pulau Hujung Tanah ternyata panas laksana api dan
harum wewangian daun pudak. Inilah ternyata tanah yang dimaksud oleh
Aria Mangkubumi. Setelah berhasil menaklukan Kerajaan Nan Sarunai, Empu
Jatmika mendirikan kerajaan baru dengan nama Kerajaan Negara Dipa dan
sebuah candi diberi nama Candi Laras, selain itu Empu Jatmika juga
mendirikan balairung, istana, ruang sidang, menara dan istana. Dalam
mengelola pemerintahan Empu Jatmika didampingi oleh Aria Megatsari
sebagai patih kerajaan. Empu Jatmika tidak menobatkan dirinya sebagai
raja, karena merasa bukan keturunan raja-raja. Hal ini juga dipesankan
kepada Lambung Mangkurat dan Empu Mandastana, bahwa keduanya juga tidak
boleh menjadi raja. Ketika Empu Jatmika mangkat, Lambung Mangkurat dan
Empu Mandastana melaksanakan pesan Empu Jatmika, yaitu mencari raja
untuk Negara Dipa. Lambung Mangkurat melaksanakan semedi (belampah) di
pinggir sungai besar, sedangkan Empu Mandastana bersemedi di pegunungan
Meratus. Menurut mitos yang diyakini masyarakat setempat, ketika Lambung
Mangkurat sedang bersemedi, tiba-tiba muncul buih yang bersinar dari
pusaran air sungai dan kemudian menjelma menjadi seorang putri yang
cantik jelita. Putri itu kemudian oleh Lambung Mangkurat disembah dan
dipanggil dengan nama Putri Junjung Buih, yang berarti seorang putri
yang muncul dari buih untuk dimuliakan menjadi ratu di Kerajaan Negara
Dipa dan Lambung Mangkurat menjadi Mangkubumi Kerajaan Negara Dipa.
Putri Junjung Buih |
Putri Junjung
Buih diyakini adalah anak perempuan dari penguasa terakhir Kerajaan Nan
Sarunai yang sebelumnya ditaklukkan Empu Jatmika atas nama Kerajaan
Majapahit. Atas dasar itulah Lambung Mangkurat berpendapat bahwa Puteri
Junjung Buih inilah orang yang berhak memimpin Kerajaan Negara Dipa
sepeniggal Empu Jatmika. Wilayah Kedaulatan Kerajaan Negara Dipa pada
masa Ratu Junjung Buih adalah Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang
Pitap, Batang Alai, Batang Amandit dan Batang Amas.
Setelah Putri
Junjung Buih diangkat menjadi ratu di Negara Dipa, Lambung Mangkurat
merasa berkewajiban untuk mencarikan calon suami bagi sang ratu. Niat
Lambung Mangkurat tersebut disetujui oleh Ratu Junjung Buih namun dengan
syarat, bahwa calon suaminya harus mempunyai kekuatan adikodrati yang
hanya bisa didapat melalui proses bersemedi. setelah mendengar syarat
yang diinginkan oleh Ratu, Lambung Mangkurat kemudian pergi kesuatu
tempat untuk bersemedi, Dari hasil semedinya, Lambung Mangkurat secra
gaib bertemu dengan seorang pemuda bernama Raden Putra atau yang
kemudian dikenal dengan nama Pangeran Suryanata. Dalam keyakinan Lambung
Mangkurat, Raden Putra bukanlah manusia biasa, melainkan Putra
Matahari.
Dalam kisah versi
lain menngisahkan bahwa, Pangeran Suryanata adalah salah seorang
Pangeran dari Kerajaan Majapahit. Raden Putra atau Pangeran Suryanata
memiliki nama lain, yaitu Rahadyan Putra alias Raden Aria Gegombak
Janggala Rajasa. Rencana penobatan Pangeran Suryanata sebagai peimpin di
Kerajaan Negara Dipa sebenanya sudah direncanakan oleh Raja Hayam Wuruk
sejak Empu Jatmika masih mengelola Kerajaan Negara Dipa untuk
sementara. Pada tahun 1362 M, Empu Jatmika mulai mempersiapkan prosesi
penjemputan Pangeran Suryanata dari Kerajaan Majapahit. Akan tetapi,
pada tahun 1362 M itu Empu Jatmika tiba-tiba jatuh sakit dan akhirnya
meninggal dunia. Akhirnya tugas penjemputan diambil alih oleh Lambung
Mangkurat.
Pangeran
Suryanata kemudian menikah dengan Ratu Junjung Buih dan mengemban tugas
bersama-sama untuk memimpin pemerintahan Kerajaan Negara Dipa. Pada masa
pemerintahan Pangeran Suryanata, pusat pemerintahan Kerajaan Negara
Dipa berada disekitar Kota Amuntai sekarang ini, tepatnya di pertemuan
antara Sungai Tabalong dengan Sungai Balangan. Selama masa
kepemimpinannya, Pangeran Suryanata berhasil memperluas wilayah
kekuasaan Kerajaan Negara Dipa dengan menaklukkan beberapa negeri lainm
seperti Sukadana, Sambas, Batang Alai, batang Lawai, Kotawaringin,
Pasir, Kutai, Karasikan, dan Berau. Pangeran Suryanata berkuasa di
Kerajaan Negara Dipa selama kurang lebih 23 tahun, dari tahun 1362 M
hingga 1385 M.
Sepeninggal
Pangeran Suryanata, pemerintahan Kerajaan Negara Dipa dipimpin oleh
putra mahkota, yaitu Aria Dewangsa yang bergelar Pangeran atau Maharaja
Surya Gangga Wangsa. Anak lelaki Pangeran Suryanata dengan Ratu Junjung
Buih ini mengemban mandat sebagai Raja Negara Dipa sejak tahun 1385 M
dan masa kekuasaanya berakhir pada tahun 1421 M. setelah era
pemerintahan Maharaja Surya Gangga berakhir, tampuk kepemimpnan Kerajaan
Negara Dipa dipercayakan kpada Raden Carang Lalean yang memerintah pada
periode tahu 1421 sampai dengan 1436 M. Setelah itu, pemerintahan
Kerajaan Negara Dipa diampu oleh seorang pemimpin perempuan yang bernama
Putri (Ratu) Kalungsu pada kurun waktu 1436 M - 1448 M.
Terakhir, ketika
masa pemerintahan Ratu Kalungsu berakhir pada tahun 1448 M, tampuk
kepemimpinan Kerajaan Negara Dipa diteruskan oleh Raden Sekar Sungsang
atau yang dikenal juga dengan nama Raden (Maharaja) Sari Kabungaran.
Pada masa inilah Kerajaan Negara Dipa mulai menuai keruntuhannya akibat
perselisihan internal, dan pada akhirnya muncul sebuah kerajaan aru
penerus Kerajaan Negara Dipa, yaitu Kerajaan Negara Daha.
Raja-Raja Kerajaan Negara Dipa
Raja/ Ratu yang pernah berkuasa di Kerajaan Negara Dipa, yaitu sebagai berikut :
Pertapaan Pangeran Suryanata |
- Empu Jatmika (1355 M) - Pejabat dan Pelaksana pemerintahan Kerajaan Negara Dipa
- Lambung Mangkurat - Pejabat dan Pelaksana pemerintahan Kerajaan Negara Dipa pengganti Empu Jatmika, sebelum Putri Junjung Buih dinobatkan menjadi Ratu Kerajaan Negara Dipa dan menjadi Mangkubumi sampai masa awal pemerintahan Maharaja Sari Kaburangan
- Putri (Ratu) Junjung Buih (1362 M) - Ratu Kerajaan Negara Dipa bersama Lambung Mangkurat sebagai Mangkubumi
- Raden Putra bergelar Pangeran (Maharaja) Suryanata (1362 M - 1358 M) - Raja Kerajaan Negara Dipa, memerintah Kerajaan Negara Dipa bersama-sama dengan Ratu Junjung Buih
- Aria Dewangsa bergelar Pangeran (Maharaja) Surya Gangga Wangsa (1385 M - 1421 M) - Raja Kerajaan Negara Dipa
- Raden (Maharaja) Carang Lalean (1421 M - 1448 M) - Raja Kerajaan Negara Dipa
- Putri (Ratu) Kalungsu (1436 M - 1448 M) - Wali Raja ketika Raden Sekar Sungsang masih berumur enam tahun
- Raden Sekar Sungsang bergelar Pangeran (Maharaja) Sari Kaburangan (1448 M) - Raja Terakhir Kerajaan Negara Dipa
Keruntuhan Kerajaan Negara Dipa
Sungai Nagara |
Pada abad ke 14
muncul Kerajaan Negara Daha yang memiliki unsur-unsur Kebudayaan Jawa
akibat dari pendangkalan sungai di wilayah Negara Dipa. Sebuah serangan
dari Jawa menghancurkan Kerajaan Negara Dipa ini. Pada masa Maharaja
Sari Kabungaran alias Raden sekar Sungsang, putera dari Putri Kabu
Waringin alias Putri Kalungsu, untuk menghindari bala bencana ibukota
dipindahkan dari Candi Agung karena dianggap sudah kehilangan tuahnya,
untuk menyelamatkan dinasti baru pimpinan Maharaja Sari Kaburangan
segera naik tahta dan memindahkan pusat pemerintahan ke arah hilir pada
percabangan anak Sungai Bahan yaitu Muara Hulak. Negara Dipa terhindar
dasi kehancuran total, bahkan dapat menata diri menjadi besar yang
kemudian diganti dengan nama Negara Daha sehingga kerajaan disebut
dengan nama yang baru sesuai dengan letak ibukotanya ketika dipindahkan
yaitu Kerajaan Negara Daha. Nama sungai Bahan pun berganti menjadi
Sungai Negara (Sungai Nagara).